b2

Kebebasan Berpendapat Terkekang, Surat Edaran Larangan Pelajar Demo Tuai Kritik

By Inayah Safitri Hanifah September 10, 2025
Sumber foto : Para pelajar menuju gedung DPR RI, Jakarta, 25 Agustus 2025. Demo 25 Agustus yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI. Tempo/Ilham Balindra

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Polemik kebebasan berpendapat kembali mencuat setelah munculnya surat edaran dari sejumlah instansi yang berisi larangan bagi pelajar untuk mengikuti aksi demonstrasi. Kebijakan ini segera menuai kritik keras karena dinilai melanggar hak dasar warga negara dan mengancam iklim demokrasi di Indonesia.

Koalisi untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan bahwa aturan sepihak ini tidak hanya mengekang kebebasan pelajar, tetapi juga berpotensi melahirkan budaya pembungkaman yang sistematis. Pelajar, menurut mereka, bukan sekadar objek pendidikan, melainkan juga subjek politik yang berhak menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat di ruang publik.

“Melarang pelajar ikut serta dalam demonstrasi sama saja dengan menutup ruang partisipasi politik generasi muda. Negara justru seharusnya mendorong tumbuhnya kesadaran kritis, bukan mengekang,” ujar pernyataan resmi KIKA.

Kritik ini tidak berdiri sendiri. Sejumlah pegiat demokrasi menilai surat edaran itu mencerminkan pola lama yang kembali berulang: kekuasaan merasa terganggu oleh suara kritis sehingga memilih membatasi alih-alih mendengar. Padahal, kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat telah dijamin jelas dalam UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.

Dengan dalih menjaga ketertiban, pemerintah dinilai menggunakan instrumen administratif untuk membungkam suara anak muda. Dampaknya, generasi pelajar bisa terjebak dalam budaya diam, apatis, dan takut menyuarakan ketidakadilan. Kondisi ini dikhawatirkan hanya akan melahirkan warga negara yang patuh secara buta, bukan kritis dan berdaya.

Pakar pendidikan menambahkan, justru keterlibatan pelajar dalam aksi sosial-politik dapat menjadi bagian dari pendidikan demokrasi. Menghadirkan ruang dialog, pembelajaran kritis, serta pengalaman berpartisipasi dianggap jauh lebih relevan dibandingkan sekadar mengurung mereka di ruang kelas tanpa pemahaman nyata tentang dinamika masyarakat.

KIKA pun mendesak agar surat edaran ini segera ditinjau ulang. Menurut mereka, jika negara sungguh ingin melindungi generasi muda, maka caranya bukan dengan menutup akses kebebasan, melainkan dengan memberikan pendidikan politik yang sehat dan ruang aman untuk mengekspresikan aspirasi.

Polemik larangan ini memperlihatkan betapa demokrasi di Indonesia masih rapuh. Ketika suara anak muda mulai lantang, yang hadir justru represi. Padahal, masa depan demokrasi tidak mungkin tumbuh jika generasi mudanya dipaksa bungkam sejak dini.

Jika ruang kritis dipersempit, maka sekolah hanya akan melahirkan generasi penurut, bukan generasi berdaya.

Kini saatnya pemerintah menimbang ulang: apakah ingin membesarkan generasi yang sekadar tunduk pada aturan tanpa daya kritis, atau membangun generasi muda yang berani berpikir, berani bersuara, dan siap menjaga demokrasi bangsa. Karena demokrasi sejati hanya hidup ketika semua suara termasuk suara pelajar diberi ruang untuk didengar

Berita Terkait