b2

JPPI Mendesak Pemerintah Tetapkan Status KLB Menyusul Lonjakan Kasus Keracunan MBG pada 6.452 Anak

By Inayah Safitri Hanifah September 25, 2025
Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Samarinda Ulu 2 di Samarinda, Kalimantan Timur, 27 Agustus 2025. Antara/M Risyal Hidayat
Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Samarinda Ulu 2 di Samarinda, Kalimantan Timur, 27 Agustus 2025. Antara/M Risyal Hidayat

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan bahwa temuan kasus dugaan keracunan akibat konsumsi makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah mencapai 6.452 anak per 21 September 2025. Angka ini menunjukkan lonjakan sebanyak 1.092 kasus hanya dalam satu minggu, dibanding data sebelumnya pada 14 September.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menjelaskan bahwa data tersebut dihimpun melalui mitra JPPI di berbagai daerah dan diperbarui secara berkala. Ia menambahkan, sebelumnya jumlah kasus sempat menurun pada masa libur sekolah dan penerimaan murid baru. Namun, sejak Agustus hingga September, tren kasus kembali melonjak tajam dan kini menyebar di banyak provinsi.

JPPI menegaskan bahwa kondisi ini sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai kejadian Luar Biasa (KLB). Penetapan status tersebut dinilai penting agar pemerintah bisa melakukan langkah cepat, terkoordinasi, dan transparan dari pusat hingga daerah. JPPI juga mendorong agar pelaksanaan MBG dihentikan sementara di wilayah yang sudah melaporkan kasus tinggi, sampai evaluasi menyeluruh dilakukan.

Dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Wakil Ketua Komisi IX, Charles Honoris, menilai bahwa jumlah kasus yang dilaporkan kemungkinan masih lebih kecil dari realita di lapangan. Ia menyebut adanya indikasi under reporting, dengan contoh kasus di Jakarta Utara di mana 79 anak dilaporkan keracunan, namun belum muncul dalam data resmi. Charles menekankan bahwa jika kasus terus berulang di berbagai wilayah, maka akar masalahnya bukan hanya di tingkat teknis pelaksanaan, melainkan juga terkait kegagalan sistemik yang harus segera diperbaiki.

Beberapa kasus spesifik juga menunjukkan besarnya dampak di lapangan. Di Bandung Barat, tercatat 369 siswa keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG. Laporan serupa juga muncul dari Kabupaten Garut serta sejumlah wilayah lain. Hal ini menegaskan bahwa masalah tidak terkonsentrasi di satu daerah, melainkan sudah bersifat luas.

Lonjakan kasus ini membawa implikasi serius. Dalam jangka pendek, anak-anak berisiko mengalami keracunan makanan, dehidrasi, hingga komplikasi yang memerlukan perawatan medis. Di sisi lain, orang tua bisa kehilangan kepercayaan terhadap program MBG, sehingga tujuan program meningkatkan gizi anak terancam gagal. Bagi pemerintah, hal ini juga menjadi persoalan besar karena menyangkut tanggung jawab moral, hukum, dan politik terhadap kesehatan generasi muda.

Atas situasi tersebut, JPPI mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah prioritas. Pertama, menetapkan status KLB agar penanganan bisa dilakukan secara darurat. Kedua, melakukan moratorium sementara program MBG di wilayah terdampak. Ketiga, mengaudit seluruh rantai penyediaan makanan mulai dari bahan baku, distribusi, hingga penyajian. Keempat, menjamin pelayanan medis gratis dan pemantauan kesehatan bagi anak-anak korban.

Selain itu, pemerintah diminta meningkatkan kapasitas satuan pelaksana program gizi (SPPG) dan dinas kesehatan daerah agar mampu melakukan pemeriksaan rutin. JPPI juga mendesak adanya transparansi data serta sanksi administratif maupun pidana bagi pihak penyedia yang terbukti lalai.

JPPI menilai, gelombang keracunan massal ini adalah alarm keras yang tidak boleh diabaikan. Jika tidak segera ditanggapi dengan langkah tegas dan sistematis, kesehatan ribuan anak serta kepercayaan publik terhadap program pemerintah akan terancam.

Organisasi ini mengajak seluruh pihak  pemerintah pusat, daerah, DPR, lembaga kesehatan, pengawas pangan, dan masyarakat sipil untuk bersinergi memperkuat pengawasan, memperbaiki sistem keamanan pangan di sekolah, dan melindungi anak-anak dari risiko serupa di masa mendatang.

Berita Terkait