Pilihan-Rakyat.com, Surabaya, 9 Oktober 2025 — Dalam suasana hukum yang kian sarat aroma tekanan politik, Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Institute (SMI), menyatakan kesiapannya memenuhi panggilan penyidik Polda Jawa Timur. Namun Eko tidak datang sendirian. Ia akan didampingi 25 advokat dari berbagai jaringan hukum progresif yang berkomitmen mengawal jalannya pemeriksaan.
Langkah ini bukan sekadar prosedural. Bagi banyak pihak, kehadiran puluhan advokat di sisi Eko adalah pernyataan politik yang tegas bahwa hukum tidak boleh dibiarkan menjadi alat kekuasaan dan aktivis tidak seharusnya berjalan sendiri dalam menghadapi tekanan negara.
Benteng Solidaritas di Tengah Ketimpangan Kekuasaan
Pemanggilan terhadap Eko Prasetyo disebut berkaitan dengan kasus yang menyeret seorang aktivis bernama Paul. Namun publik menilai konteksnya jauh lebih dalam dari sekadar perkara individual. Sebagai sosok yang dikenal lantang menyuarakan kritik terhadap kebijakan negara dan praktik ketidakadilan sosial, Eko kerap berada di barisan terdepan dalam advokasi masyarakat sipil.
Kehadiran 25 advokat yang siap mendampinginya menandai lahirnya bentuk solidaritas hukum yang jarang terjadi. Ini bukan tentang ketakutan, tetapi tentang pengawalan terhadap ruang hukum yang mulai retak. Dalam situasi ketika keadilan sering kali terasa timpang, langkah ini menjadi simbol bahwa hukum seharusnya berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.
Makna 25 Advokat: Bentuk Keberanian atau Pertanda Krisis
Bagi sebagian orang, langkah Eko menghadirkan puluhan pengacara mungkin dianggap berlebihan. Namun bagi mereka yang memahami realitas lapangan, ini adalah tindakan realistis di tengah situasi hukum yang makin tidak pasti.
Pertanyaan kritis pun muncul: apakah langkah ini mencerminkan kepercayaan terhadap sistem hukum, atau justru ketidakpercayaan terhadap integritasnya? Jika seorang saksi seperti Eko merasa perlu datang dengan barisan advokat, maka itu adalah sinyal kuat bahwa rasa aman dan keadilan di ruang hukum telah terkikis.
Dalam pandangan gerakan sosial, langkah ini juga merupakan pesan politik yang mendalam: ketika hukum dijadikan instrumen untuk membungkam, maka solidaritas adalah bentuk perlawanan paling sah.
Ujian bagi Polda Jatim dan Cermin Demokrasi
Bagi Polda Jawa Timur, proses ini akan menjadi ujian transparansi dan profesionalitas. Masyarakat menunggu: apakah pemeriksaan terhadap Eko Prasetyo akan dilakukan dengan adil dan terbuka, atau justru memperlihatkan pola lama intimidasi halus terhadap aktivis kritis?
Eko datang bukan hanya membawa argumen hukum, tetapi membawa tanggung jawab moral atas perjuangan panjangnya membela kaum tertindas. Ia adalah suara dari banyak aktivis, mahasiswa, dan rakyat yang percaya bahwa negara seharusnya menjadi pelindung, bukan pengancam.
Jika aparat penegak hukum memilih berlaku objektif dan menghormati prinsip due process, maka langkah Eko datang dengan 25 advokat akan terbukti sebagai bentuk partisipasi konstruktif dalam menegakkan hukum. Namun jika sebaliknya yang terjadi jika proses ini dibalut motif politik atau kekuasaan maka peristiwa ini akan tercatat sebagai cermin retaknya demokrasi Indonesia.
Gerakan Sosial Tak Bisa Dibungkam
Social Movement Institute (SMI) berdiri di atas keyakinan bahwa perubahan sosial hanya bisa lahir dari kesadaran kolektif dan keberanian melawan ketidakadilan. Panggilan hukum terhadap pendirinya, Eko Prasetyo, karenanya tidak bisa dilepaskan dari dimensi politik gerakan rakyat.
Gerakan sosial tidak akan berhenti hanya karena satu tokohnya dipanggil, sebab ide dan perjuangan jauh lebih kuat dari sekadar ruang interogasi. Justru, panggilan ini bisa menjadi pemantik baru bagi konsolidasi masyarakat sipil untuk menuntut keadilan yang lebih luas.
Keadilan Tak Boleh Takut pada Kritik
Kasus ini menyingkap satu kenyataan getir: di negeri yang mengaku demokratis, aktivis dan pembela kebenaran sering kali harus datang ke kantor polisi dengan pengacara sebanyak pasukan kecil — hanya untuk memastikan proses hukum berjalan wajar.
Eko Prasetyo mungkin akan diperiksa sebagai saksi, tetapi di mata publik, ia juga sedang menguji kejujuran institusi hukum. Ia datang bukan untuk melawan, melainkan untuk mengingatkan bahwa hukum hanya bermakna ketika berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan.
Dan jika kebenaran akhirnya dikalahkan oleh tekanan, maka sejarah akan mencatat: bukan Eko Prasetyo yang kalah, melainkan wajah hukum Indonesia yang kehilangan kehormatannya.