Pilihan-Rakyat.com, Surabaya – “Surat cinta untuk polisi” pernah lahir dari harapan. Sebuah simbol lembut dari masyarakat yang masih percaya bahwa reformasi bisa melunakkan wajah kekuasaan yang dulu begitu keras terhadap rakyatnya. Namun dua dekade lebih setelah reformasi dikumandangkan, surat itu kini dibalas dengan cara yang dingin—bukan dengan dialog, bukan dengan refleksi, melainkan dengan surat panggilan penyidik.
Aktivis pro-demokrasi yang selama ini dikenal sebagai penjaga nurani publik kini justru menjadi sasaran. Muhammad Fakhrurrozi—atau Paul, sebagaimana ia akrab disapa—dipanggil oleh penyidik Polda Jawa Timur atas tuduhan samar yang dikembangkan tanpa transparansi. Kasusnya tidak jelas, tapi pesannya gamblang: suara kritis semakin tidak disukai oleh kekuasaan.
Kasus ini bermula dari kegiatan bertajuk “Surat Cinta untuk Polisi”, sebuah acara reflektif yang sejatinya dimaksudkan untuk memperkuat hubungan masyarakat sipil dengan aparat. Melalui karya seni, tulisan, dan diskusi, para aktivis berupaya mengingatkan bahwa kepolisian seharusnya menjadi pelindung, bukan penindas. Namun alih-alih menyambut dialog tersebut, aparat justru menanggapinya dengan pemanggilan hukum.
Sejumlah aktivis seperti Eko Prasetyo dan Naysilla Rose turut menerima surat panggilan dengan tenggat waktu yang mendesak. Tidak ada kejelasan perkara, tidak ada ruang klarifikasi yang adil. Surat permohonan penundaan dari pihak aktivis bahkan diabaikan tanpa penjelasan resmi. Semua tampak tergesa, seperti ada yang ingin segera membungkam percakapan sebelum sempat berkembang menjadi gerakan solidaritas.
Langkah ini pun menuai reaksi keras dari lembaga bantuan hukum dan jaringan masyarakat sipil. LBH Surabaya, KontraS, dan sejumlah akademisi menilai pemanggilan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Dalam pernyataannya, mereka menegaskan bahwa hukum kini mulai digunakan sebagai alat tekanan, bukan perlindungan.
Reformasi yang dahulu digembar-gemborkan sebagai tonggak demokrasi kini justru memudar di tangan aparat yang alergi terhadap kritik. Polisi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat tampak lebih sibuk menjaga citra institusi ketimbang memperbaiki diri. Setiap suara kritis dicurigai, setiap pertanyaan disamakan dengan ancaman, dan setiap aktivis yang bicara tentang reformasi disebut “mengganggu ketertiban umum.”
Eko Prasetyo, salah satu aktivis yang dipanggil, mengingatkan publik akan bahaya pengulangan sejarah. “Dulu kami menulis dan bersuara melawan Orde Baru. Sekarang kami menulis lagi, dan dipanggil dengan cara yang sama. Bedanya hanya seragamnya,” ujarnya. Ucapan itu terdengar getir, namun jujur. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini diuji oleh ketakutan yang sama—ketakutan untuk mendengar suara rakyat.
Lebih ironis lagi, kegiatan yang menjadi pemicu pemanggilan ini justru berbicara tentang cinta—tentang bagaimana masyarakat ingin melihat polisi lebih manusiawi, lebih terbuka, lebih peduli pada keadilan. Tapi di negeri ini, rupanya cinta yang jujur bisa dianggap subversif. Kritik yang tulus bisa diterjemahkan sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Dalam proses pemanggilan, sejumlah advokat mencatat kejanggalan hukum yang serius. Waktu pemanggilan terlalu mendadak, keterangan perkara tidak jelas, dan surat resmi terkesan dibuat sekadar untuk menggugurkan prosedur. Kejanggalan-kejanggalan ini menunjukkan bahwa hukum masih bisa diarahkan sesuai keinginan kekuasaan. Tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Meski begitu, pemanggilan ini tidak membuat semangat publik padam. Justru sebaliknya, tindakan aparat memantik solidaritas luas. Puluhan organisasi masyarakat sipil datang ke Polda Jawa Timur untuk memberikan dukungan moral. Mereka hadir bukan untuk menantang, tapi untuk mengingatkan bahwa negara ini lahir dari perlawanan terhadap ketakutan.
Solidaritas itu menjadi penegasan bahwa demokrasi tidak akan tumbang hanya karena satu surat panggilan. Justru dari surat itulah kesadaran baru tumbuh: bahwa reformasi belum selesai, dan kebebasan berbicara masih harus diperjuangkan setiap hari.
Kini “surat cinta untuk polisi” berubah makna. Ia bukan lagi surat penuh harapan, tapi catatan pahit tentang hubungan antara rakyat dan aparat yang semakin renggang. Ia menjadi simbol bahwa di tengah janji reformasi, cinta rakyat pada keadilan sering kali bertepuk sebelah tangan.
Dan mungkin, di antara tumpukan berkas penyidikan di meja penyidik itu, masih terselip selembar surat yang belum dibuka—sebuah surat yang berisi pesan sederhana: bahwa suatu hari nanti, aparat akan benar-benar mencintai rakyatnya tanpa harus takut kehilangan kuasa.