b2

Keadilan Tertunda, Rakyat Dipermainkan: Absennya Polda Metro Jaya di Sidang Khariq Anhar

By Inayah Safitri Hanifah October 13, 2025
Suasana sidang Praperadilan aktivis Khariq Anhar di ruang sidang 2 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/10/2025).(Hanifah Salsabila)

Pilihan-Rakyat.com, jakarta – Sidang praperadilan yang diajukan aktivis Khariq Anhar kembali harus menelan jeda waktu. Ruang sidang yang seharusnya menjadi arena pembuktian dan pertarungan argumentasi hukum justru sepi dari pihak yang paling ditunggu: Polda Metro Jaya. Ketidakhadiran institusi penegak hukum itu pada sidang perdana membuat majelis hakim tidak memiliki pilihan selain menunda proses peradilan. Namun, di balik penundaan ini, publik menangkap aroma yang jauh lebih tajam daripada sekadar persoalan administratif ini adalah persoalan akuntabilitas dan keadilan yang tersendat.

Khariq Anhar bukan sekadar individu yang berhadapan dengan aparat. Ia simbol dari kegelisahan masyarakat sipil terhadap praktik hukum yang kerap terasa timpang. Pengajuan praperadilan ini sejatinya adalah upaya untuk menegakkan prinsip dasar: bahwa setiap tindakan aparat penegak hukum, sekecil apa pun, harus tunduk pada hukum itu sendiri. Namun, ketika pihak yang dituding justru absen tanpa alasan jelas, pesan yang sampai ke publik justru seolah menegaskan bahwa hukum masih sering bekerja sepihak.

Sidang praperadilan ini menjadi penting bukan hanya karena menyangkut nasib Khariq, tetapi juga karena menyentuh kredibilitas lembaga penegak hukum. Polda Metro Jaya, sebagai institusi besar, seharusnya menjadi contoh kedisiplinan dalam menjunjung supremasi hukum. Ketidakhadiran mereka tanpa penjelasan yang transparan menimbulkan tanda tanya besar apakah ini bentuk ketidaksiapan, kelalaian, atau sikap abai terhadap hak warga negara untuk memperoleh keadilan?

Di sisi lain, publik semakin terbiasa menyaksikan pola serupa: ketika aparat diminta hadir sebagai pihak termohon, sidang kerap tertunda dengan alasan teknis atau administratif. Akibatnya, proses hukum yang seharusnya cepat dan transparan berubah menjadi lamban, bahkan berlarut-larut hingga kehilangan momentum. Keadilan yang tertunda, kata banyak ahli hukum, adalah bentuk lain dari ketidakadilan itu sendiri.

Kasus Khariq menjadi cermin buram bagaimana relasi antara warga dan institusi hukum masih jauh dari seimbang. Padahal, praperadilan hadir sebagai mekanisme korektif alat untuk menguji sah atau tidaknya proses penangkapan dan penetapan tersangka. Ketika mekanisme ini pun dihambat dengan ketidakhadiran pihak termohon, ke mana lagi masyarakat harus menggantungkan harapan bahwa hukum bisa berjalan jujur?

Penundaan sidang kali ini bukan sekadar persoalan waktu, tetapi persoalan sikap. Publik berhak bertanya: apakah hukum di negeri ini hanya tegas kepada rakyat kecil, namun gamang ketika yang diadili adalah institusinya sendiri? Di saat publik menanti transparansi, yang muncul justru kesan ketertutupan.

Jika institusi sebesar Polda Metro Jaya dapat dengan mudah absen dari panggilan sidang tanpa sanksi atau klarifikasi, maka pesan yang disampaikan kepada masyarakat jelas: hukum belum sepenuhnya setara di hadapan semua pihak. Negara hukum yang sesungguhnya menuntut kesediaan setiap lembaga untuk tunduk pada proses, bukan untuk menghindarinya.

Kini, publik menunggu apakah sidang lanjutan akan benar-benar menghadirkan keadilan substantif, atau kembali menjadi tontonan formalitas yang mengulur waktu. Kasus Khariq Anhar telah melampaui ranah personal ia kini menjadi cermin dari seberapa dalam komitmen aparat hukum dalam menjaga integritas proses peradilan.

Karena pada akhirnya, hukum bukan sekadar teks di atas kertas atau acara di ruang sidang. Ia adalah janji moral sebuah negara kepada warganya bahwa keadilan tidak akan dipermainkanbahkan oleh mereka yang berseragam.

Berita Terkait