b2

BPOM RI Didorong Perkuat Pengawasan dan Transparansi: Vaksinasi HPV Harus Jadi Gerakan Nasional, Bukan Sekadar Program

By Inayah Safitri Hanifah October 15, 2025
Mahasiswa HMP FKM UI Melaksanakan Audiensi bersama BPOM (Sumber Foto : HMP FKM UI)

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Di tengah ancaman kanker serviks yang terus menghantui perempuan Indonesia, dengan lebih dari 36 ribu kasus baru dan 21 ribu kematian per tahun (GLOBOCAN 2021), upaya vaksinasi Human Papillomavirus (HPV) belum menunjukkan capaian ideal. Cakupan nasional masih stagnan di bawah 50%, memperlihatkan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada sisi medis, tetapi juga pada tata kelola, distribusi, dan kepercayaan publik terhadap sistem vaksinasi itu sendiri.

Dalam audiensi publik antara Himpunan Mahasiswa Profesi (HMP) FKM UI dengan BPOM RI pada 13 Oktober 2025, mahasiswa menyuarakan dengan lantang pentingnya pengawasan, keterbukaan data, serta komunikasi risiko yang lebih kuat dari BPOM. Mereka menekankan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi tak akan tumbuh jika lembaga regulator masih berjarak dari publik.

“Keamanan vaksin adalah fondasi kepercayaan. BPOM bukan sekadar lembaga teknis, tetapi garda depan dalam memastikan keamanan dan transparansi produk kesehatan. Tanpa itu, program vaksinasi nasional akan selalu berjalan di atas kerapuhan,” tegas Jihan Ramadhany Ginting Manik, Sekretaris Departemen Kajian dan Advokasi Masyarakat HMP FKM UI.

Audiensi tersebut mengungkapkan sejumlah persoalan nyata di lapangan: lemahnya literasi publik tentang vaksin HPV, distribusi vaksin yang tidak merata, keterbatasan sistem farmakovigilans di daerah, serta masih tertutupnya akses terhadap hasil uji keamanan pasca-edaran. Mahasiswa menilai, BPOM perlu mengubah paradigma pengawasan menjadi model yang partisipatif, terbuka, dan kolaboratif dengan masyarakat sipil.

Dari Maturity Level 3 Menuju Kemandirian Vaksin Nasional

Ketua Departemen Kajian dan Advokasi Masyarakat, Wafi Syukri Baraja, memberikan apresiasi terhadap capaian BPOM yang telah memperoleh maturity level 3 dari WHO melalui mekanisme National Regulatory Authority (NRA) Benchmarking. Namun, ia menegaskan bahwa capaian tersebut belum cukup.

“Level 3 adalah pengakuan, bukan garis finish. Tantangan berikutnya adalah mempertahankannya dan melangkah ke maturity level 4. Saat itu tercapai, Indonesia bisa menjadi produsen vaksin HPV yang diakui dunia. Kita bicara soal kemandirian dan kedaulatan kesehatan nasional,” ujar Wafi.

Dalam audiensi, mahasiswa juga menyoroti pentingnya penguatan riset vaksin di dalam negeri, termasuk dukungan BPOM dalam mempercepat perizinan riset dan transfer teknologi. Kolaborasi antara regulator, industri farmasi nasional, dan universitas dianggap sebagai kunci membangun rantai nilai vaksinasi yang berkelanjutan.

Empat Tuntutan Konkret: Dari Ruang Audiensi ke Ruang Kebijakan

Dari hasil diskusi dan policy brief yang disampaikan, empat rekomendasi tajam disuarakan kepada BPOM RI:

  1. Transparansi Data dan Komunikasi Risiko Publik.
    BPOM diminta membuka data pasca-edaran, hasil evaluasi keamanan, dan laporan efek samping vaksin HPV secara berkala kepada publik. Transparansi dianggap sebagai syarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi.

  2. Penguatan Pengawasan Lapangan.
    Mahasiswa mendesak agar pengawasan cold chain dan distribusi vaksin diperketat, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Pengawasan berbasis risiko dan sistem pelaporan digital real-time perlu diperluas agar vaksin tetap aman sampai titik layanan dasar.

  3. Edukasi Publik Berbasis Bukti.
    Audiensi juga menyoroti minimnya komunikasi publik dari BPOM mengenai vaksin HPV. Disarankan agar BPOM memperluas kolaborasi pentahelix  bersama pemerintah daerah, akademisi, media, dan komunitas – untuk membangun narasi kesehatan yang lebih inklusif dan melawan disinformasi.

  4. Dukungan terhadap Kemandirian Riset dan Produksi.
    BPOM diharapkan menjadi fasilitator strategis bagi pengembangan vaksin produksi dalam negeri. Hal ini bukan sekadar isu teknologi, tetapi juga kedaulatan negara dalam menghadapi ancaman kesehatan global.

Mahasiswa: Dari Pengawasan ke Penggerak

Ketua HMP FKM UI, Muhammad Alfiansyah, menegaskan bahwa mahasiswa tidak hanya datang membawa kritik, tetapi juga tawaran solusi.

“Kami bukan oposisi kesehatan, kami mitra kritis. Kami hadir untuk memastikan bahwa setiap kebijakan publik berpihak pada rakyat dan berbasis bukti ilmiah,” katanya.

Ia menambahkan bahwa ke depan, sinergi antara BPOM, perguruan tinggi, dan komunitas kesehatan harus diperkuat untuk memperluas literasi vaksinasi HPV, terutama di kalangan remaja putri dan sekolah-sekolah dasar.

Vaksinasi HPV Bukan Sekadar Tugas Teknis

Rilis ini menegaskan kembali bahwa vaksinasi HPV adalah gerakan sosial dan politik kesehatan, bukan sekadar urusan teknis. Keamanan, pengawasan, dan transparansi adalah tiga pilar utama yang akan menentukan keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kanker serviks.

Dengan dorongan mahasiswa dan masyarakat sipil, BPOM RI diharapkan tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga penggerak perubahan menuju sistem kesehatan yang lebih adil, mandiri, dan berdaulat.

Berita Terkait