b2

Akademisi UI Desak Pengawasan Gula dan Pemanis Buatan Diperketat, Negara Tak Boleh Manis pada Industri

By Inayah Safitri Hanifah October 15, 2025
HMP FKM UI Melaksanakan Audiensi Isu Gizi terkait Minuman Berpemanis (Sumber Foto : HMP FKM UI)

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta, — Di tengah meningkatnya gelombang penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas, akademisi dan mahasiswa dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mendesak pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar tidak lagi menunda langkah konkret dalam mengendalikan konsumsi gula dan pemanis buatan di Indonesia. Audiensi yang digelar bersama BPOM RI ini menjadi panggung kritik tajam terhadap lemahnya pengawasan, minimnya pelabelan yang transparan, serta absennya pajak minuman berpemanis (sugar tax) yang telah lama diwacanakan tetapi tak kunjung diterapkan.

“Masalahnya bukan pada rasa manisnya, tapi pada sistem pengendalian yang belum tegas. Setiap hari masyarakat mengonsumsi tiga kali lipat dari batas aman WHO, sementara label gizi di produk hanya jadi formalitas,” tegas Anggitaningtyas Dzaky Salsabila, perwakilan Departemen Kajian dan Advokasi Masyarakat (KADVOMAS) FKM UI, dalam audiensi tersebut.

Regulasi Sudah Ada, Tapi Tak Tajam di Lapangan

Secara hukum, BPOM memiliki mandat kuat berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 untuk memastikan keamanan pangan olahan. Bahkan, Peraturan BPOM No. 26 Tahun 2021 dan No. 11 Tahun 2019 sudah mewajibkan pencantuman kadar gula, garam, dan lemak (GGL) serta mengatur batas aman pemanis buatan seperti aspartam dan sukralosa. Namun, di lapangan, pengawasan dinilai tumpul. Label nilai gizi sulit dipahami, istilah teknis seperti “gula tambahan” atau “pemanis buatan” membingungkan masyarakat, dan front-of-pack nutrition label (FoPNL) masih bersifat sukarela padahal inilah alat utama edukasi publik di negara maju.

“Produk dengan kadar gula tinggi masih bebas beredar tanpa label peringatan yang jelas. Literasi gizi publik tidak akan tumbuh kalau informasi yang diberikan justru membingungkan,” ujar Anggita, menambahkan bahwa pengawasan pasca-edar kerap menemukan perbedaan komposisi antara dokumen izin dan produk nyata di pasaran.

Kelemahan Struktural: Dari Regulasi ke Realisasi

BPOM memang menyebutkan bahwa sistem pengawasan dilakukan secara berlapis mulai dari izin edar hingga inspeksi fasilitas produksi. Namun kenyataannya, penerapan sanksi administratif dan penarikan produk bermasalah masih jarang terdengar. Bahkan, PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang telah memberikan dasar hukum baru untuk pengendalian gula dan pemanis buatan belum diikuti dengan peraturan turunan (Permenkes) yang bisa menegaskan batas, sanksi, dan format label.

Ironisnya, draf kebijakan FoPNL yang sudah disusun sejak tahun lalu belum juga disahkan karena tarik-menarik antarinstansi. Sementara itu, data UGM dan Kemenkes menunjukkan Indonesia kini menjadi konsumen minuman berpemanis terbesar ketiga di Asia Tenggara, dengan konsumsi lebih dari 20 liter per orang per tahun. Angka ini menjadi potret kegagalan kebijakan pangan nasional dalam membatasi konsumsi produk tinggi gula.

Gula dan Politik Kesehatan

Di audiensi itu, para akademisi menyoroti bahwa pengendalian pemanis buatan tak bisa dilepaskan dari kebijakan fiskal dan industri. Tanpa pajak berbasis kadar gula (sugar tax) dan reformulasi produk industri pangan, regulasi hanyalah wacana di atas kertas. Mereka mendesak agar BPOM tidak hanya jadi pengawas teknis, tapi juga penggerak kebijakan strategis yang memaksa industri menyesuaikan diri dengan standar kesehatan publik.

“Kami tidak mempersoalkan isi regulasi yang kami persoalkan adalah keberaniannya. Jika pemerintah sungguh serius melindungi rakyat, maka tegaslah pada industri, bukan hanya pada label,” ujar Anggita.

Kritik dan Rekomendasi: Akademisi Menawarkan Jalan

Ketua Departemen Kajian dan Advokasi Masyarakat, Wafi Syukri Baraja, menegaskan pentingnya kebijakan berbasis bukti ilmiah (evidence-based policy) dan pendekatan lintas sektor yang konsisten. Menurutnya, instrumen fiskal seperti cukai atau pajak manis harus dipadukan dengan penguatan sistem pengawasan dan evaluasi terhadap kepatuhan industri.

“Regulasi harus diiringi mekanisme evaluasi yang terukur. Tanpa indikator jelas, semua akan berputar di tataran administratif. Sementara rakyat terus dicekoki produk manis yang membunuh pelan-pelan,” ujarnya tegas.

Wafi juga menyoroti pentingnya penguatan literasi gizi masyarakat agar publik tidak terus menjadi korban promosi agresif industri makanan olahan. Ia menegaskan, “Pangan berpemanis bukan sekadar isu kesehatan, ini soal keadilan sosial dan hak atas hidup sehat.”

Seruan Moral: Jangan Biarkan Rakyat Jadi Korban Gula

Sementara itu, Muhammad Alfiansyah, Ketua HMP FKM UI, menyampaikan bahwa keberanian politik pemerintah menjadi kunci perubahan.

“Kami tidak butuh regulasi yang manis di teks tapi pahit di kenyataan. Kami butuh kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan pada industri,” katanya.

Alfiansyah menegaskan, BPOM, Kemenkes, dan DPR RI harus memperkuat sinergi dalam pengawasan, pelabelan, dan edukasi publik. Literasi gizi harus menjadi gerakan nasional, bukan proyek seremonial. Ia juga menekankan bahwa mahasiswa siap menjadi mitra kritis yang terus mengawal kebijakan pangan agar benar-benar melindungi masyarakat dari dampak buruk konsumsi berlebih.

Dari Audiensi ke Aksi

Audiensi ini bukan sekadar diskusi, melainkan peringatan keras dari kampus kepada negara. Kelemahan regulasi dan lemahnya implementasi pengawasan pangan berpemanis buatan telah menelan korban secara senyap dalam bentuk peningkatan prevalensi diabetes, hipertensi, dan obesitas.

Para akademisi FKM UI menegaskan, setiap sendok gula berlebih yang dikonsumsi rakyat hari ini adalah akibat dari kebijakan yang tak tegas kemarin. Negara punya pilihan: terus meninabobokan publik dalam rasa manis yang menipu, atau mulai menegakkan regulasi dengan keberanian politik yang sebenar-benarnya.

Berita Terkait