b2

Status Wilayah Dusun Wailapia Masih Kabur antara SBB dan Malteng, Pemuda Desak Pemerintah Tuntaskan Ambiguitas

By SARLIN WAGOLA October 23, 2025
La Man, S.H. (Advokad sekaligus Tokoh Pemuda Dusun Wailapia)

Maluku Tengah, Dusun Wailapia-Status wilayah dusun Wailapia, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), hingga kini masih belum jelas. Selama lebih dari satu dekade, dusun ini diklaim oleh dua pihak, yakni Desa Larike (Malteng) dan Desa Luhu (Kabupaten Seram Bagian Barat/SBB), sehingga menimbulkan dualisme administratif.

Kondisi ini menimbulkan ambiguitas hukum yang merugikan masyarakat. Akibatnya muncul status kependudukan ganda, tumpang tindih kewenangan dua kepala dusun, serta hambatan dalam penyaluran dana desa, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU). Hal ini berdampak pada ketimpangan pembangunan di sektor pendidikan dan kesehatan. Saat ini, Dusun Wailapia bahkan dipimpin dua kepala dusun secara bersamaan: Hamid Wagola (di bawah wilayah SBB) dan Yanto Ode (di bawah wilayah Malteng). Berdasarkan data DPT tahun 2024, dari sekitar 650–700 warga, 80% ber-KTP Malteng dan 20% ber-KTP SBB.

La Man menilai, ketidakjelasan status wilayah dusun Wailapia mencerminkan kegagalan pemerintah daerah, baik di Kabupaten Malteng maupun SBB, dalam menyelesaikan persoalan batas wilayah. Menurutnya, dualisme kepemimpinan tidak hanya terjadi di Wailapia, tetapi juga di sejumlah dusun lain yang memiliki status serupa. “Hal ini menciptakan tumpang tindih kewenangan, potensi konflik horizontal, serta stagnasi pembangunan di tingkat dusun,” ujarnya.

Lebih lanjut, La Man selaku Advokad dan sekaligus Tokoh Pemuda dusun Wailapia mendesak pemerintah pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri Bapak Muhammad Tito Karnavian, Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, serta Bupati Malteng Zulkarnain Awat Amir, Bupati SBB Asri Arman dan seluruh pemangku kepentingan di legislatif untuk masing-masing segera beritikad baik untuk turun langsung meninjau kembali Permendagri No. 29 Tahun 2010 serta Perda-perda lain yang mengatur hal serupa di setiap daerah atau wilayah yang belum memiliki status kedudukan yang jelas secara hukum tentang Tapal Batas Wilayah antara Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Maluku Tengah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2010 Tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku dan Perda Kabupaten Maluku Tengah Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Negeri Adat dan Negeri Administratif, sebagai solusi konkret dua peraturan tersebut perlu dikaji untuk dapat segera diharmonisasi ulang agar dapat memberikan kepastian hukum. Jika perlu, Pemda dan Pemprov menetapkan batas wilayah ulang melalui Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan Peraturan Daerah Kabupaten (Perda kabupaten) atau berbagai dasar hukum lainya yang masih berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan di wilayah yang disengketakan termaksud menjelaskan ulang kepada masyarakat di setiap dusun agar tidak terjadi kerancuan status kewilayahan.

Dusun Wailapia tidak boleh terus menjadi korban tarik-menarik kepentingan baik administratif maupun kepentingan politik, dalam hal klaim wilayah  dusun Wailapia ke wilayah SBB jika merujuk pada undang-undang nomor 40 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku, baik di dalam bunyi pasal, ayat, dan poin tidak mengklaim secara jelas tapal batas wilayah beberapa dusun yang disengketakan, termaksud dusun Wailapia sebagai anak dusun dari Desa Larike, sehingga klaim yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik SBB maupun Malteng lebih kepada mengedepankan ego sektoral semata sehingga abai terhadap kepentingan masyarakat dusun di Kawasan Tanjung Sial.

Sebagai negara hukum (rechstaat). Mestinya peraturan itu hadir untuk melindungi serta menjaga hak-hak setiap orang atau masyarakat, memberikan kepastian, dan kebermanfaatan bagi semua pihak, bukan malah sebaliknya membuat masyarakat larut dalam konflik internal yang pada akhirnya merusak harmonisasi setiap masyarakat dusun.

Oleh sebab itu, negara melalui setiap pemangku kebijakanya patut untuk mengakui dan menghormati status Masyarakat dusun yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarak hukum dan masyarakat hukum adat itu sendiri untuk dapat hidup dengan aman dan damai. Maka dari itu, masing-masing desa bahkan dusun sesuai Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 kepala daerah patut melindungi setiap Masyarakat hukum dan Masyarakat hukum adat, dan tidak memotong-motong dagingnya sendiri. Sebagaimana yang sudah di atur di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Negeri Adat dan Negeri Administratif, yang pada akhirnya kedua belah pihak harus bertemu untuk memperjelas status hukum kewilayahanya masing-masing dengan berlandaskan keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan untuk kemajuan masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat di setiap dusun,” tutupnya.

Berita Terkait