Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Dinamika politik global terus berevolusi seiring dengan pergeseran demografi serta disrupsi digital. Kemajuan teknologi, khususnya di bidang komunikasi digital, tidak hanya memengaruhi pola interaksi sosial, tetapi juga mengubah lanskap aktivisme politik. Jika sebelumnya advokasi politik terbatas dalam ranah fisik dan dunia nyata, kini diskursus dan aksi politik bermigrasi ke ruang-ruang maya.
Transformasi ini membuka medan politik alternatif yang lebih cair, inklusif, dan adaptif. Kehadiran media sosial, platform komunikasi daring, serta teknologi informasi berbasis jaringan memungkinkan munculnya gerakan-gerakan politik yang inovatif, sekaligus memperluas akses partisipasi masyarakat dalam ruang publik.
Di Indonesia khususnya, dalam aksi demonstrasi belakangan ini, pemanfaatan ruang digital semakin masif—baik dalam memobilisasi ataupun menghimpun massa. Ini menjadi bukti bahwa kemajuan teknologi tidak melulu membawa kesan negatif tetapi justru menjadi alat politik yang efektif.
Keterlibatan Gen Z dalam Politik
Ini erat kaitannya dengan pola pikir dan karakteristik generasi yang tumbuh dalam arus informasi tanpa batas. Kemampuan mereka mengakses beragam isu melalui media sosial telah membentuk tingkat literasi politik yang lebih cepat dan variatif dibandingkan generasi sebelumnya. Ruang digital menjadi laboratorium diskusi kritis, tempat mereka menemukan fakta, menguji narasi, dan memobilisasi solidaritas.
Selain itu, Gen Z dibentuk oleh realitas global yang penuh dengan tantangan. Krisis iklim, kesenjangan sosial-ekonomi, problem ketenagakerjaan, hingga isu kebebasan berekspresi menjadi faktor yang memperkuat dorongan mereka untuk bergerak. Mereka menyadari bahwa masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika sejak dini mereka terlibat dalam proses perjuangan. Oleh karena itu, demonstrasi bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan strategi partisipasi politik yang sah dan demokratis.
Tidak kalah penting, faktor solidaritas turut menggerakkan langkah Gen Z. Mereka sering kali merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membela kelompok yang terpinggirkan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai solidaritas ini, yang lahir dari budaya berbagi di media sosial maupun komunitas, memperkuat alasan mereka turun ke jalan. Dengan demikian, demonstrasi menjadi wadah aktualisasi identitas kolektif mereka sebagai generasi yang peduli, kritis, dan progresif.
Singkatnya, keterlibatan Gen Z dalam demonstrasi dipengaruhi oleh kombinasi antara kesadaran kritis, keterpaparan terhadap isu-isu global, dorongan solidaritas, serta keinginan untuk memperluas ruang partisipasi politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak hanya mewarisi warisan demokrasi dari generasi sebelumnya, tetapi juga memberi warna baru dalam praktik demokrasi dengan menghadirkan semangat keberanian, kepedulian, dan kreativitas khas anak muda.
Kenapa Gen Z melakukan Pergerakan?
Krisis ekonomi menjadi permasalahan utama yang melatarbelakangi kehidupan sehari-hari generasi ini. Kenaikan biaya pendidikan, upah gaji yang rendah, serta tingginya angka pengangguran menjadi salah satu faktor yang membuat mereka merasa bahwa masa depan penuh dengan ketidakastian. Aksi demonstrasi yang terjadi bukan sekadar idealisme, melainkan bentuk ekspresi kegelisihan akan kehidupan yang lebih layak.
Korupsi yang terus berulang serta kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang membuat Gen Z tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap elit politik. Hal ini dapat terlihat dari aksi demonstrasi pada Agustus 2025 di Indonesia yang dipicu karena wacana tunjangan perumahan baru untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sebesar Rp 50 Juta per bulan ditengah ekonomi yang sedang sulit serta minimnya lapangan pekerjaan.
Prof. Dr. Faturrochman, M.A. , Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan bahwa protes besar yang melibatkan anak muda dapat dijelaskan melalui perspektif psikologi sosial, khususnya teori deprivasi relative.
“Generasi muda dengan energi dan keberaniannya, bisa menjadi agen perubahan sekaligus pengingat bahwa tujuan utama kekuasaan politik adalah guna menghadirkan kesejahteraan public,” ngkap Prof. Dr. Faturrochman, M.A.
Kekuatan digital yang dikuasai Gen Z memicu berkembangnya pergerakan aksi yang lebih efesien. Mereka memanfaatkan ekosistem digital untuk melakukan mobilisasi sehingga dapat mempercepat penyebaran informasi lintas daerah. Kehadiran mereka untuk turun ke jalan melakukan berbagai aksi juga dinilai sebagai jalan aktualisasi diri.
Hal itu sejalan dengan perspektif teori Uses and Gratifications Theory yang menjelaskan bagaimana Gen Z memanfaatkan media untuk memenuhi kebutuhan informasi, identitas, emosi, dan solidarita, sehingga media sosial bukan hanya alat komunikasi, tapi juga alat perjuangan politik.
Pada akhirnya, Gen Z bergerak karena merasa masa depan mereka tengah dipertaruhkan oleh krisis ekonomi, elit korup, dan kebijakan yang membatasi kebebasan digital. Dengan memadukan keresahan nyata, data sosial-ekonomi, dan kekuatan algoritma, mereka menjadikan politik bukan arena monopoli parlemen, melainkan ruang publik yang hidup, viral, dan penuh energi kolektif.
Gen Z’s Way of Protesting
Demonstrasi yang terjadi pada bulan Agustus lalu menjadi bukti nyata bahwa Gen Z memiliki caranya tersendiri dalam menyampaikan aspirasi. Gen Z di Indonesia, Nepal, dan Perancis tidak hanya hadir di jalanan untuk berorasi, tetapi juga memanfaatkan kekuatan teknologi, kreativitas, dan budaya digital untuk memastikan suara mereka terdengar lebih luas
Seperti di Indonesia misalnya, banyak demonstran yang menggunakan bendera topi jerami dari anime One Piece sebagai bentuk simbol kebebasan seperti cerminan dari karakter utamanya, “Luffy”. Berbeda dengan Nepal, dilansir dari The Guardian generasi muda Nepal menyebut aksi ini sebagai “revolusi mereka sendiri” sambil mengibarkan bendera topi jerami seperti Gen Z Indonesia, mereka menggaungkan slogan dan logo topi jerami tersebut diberbagai media sosial.
Aksi yang mereka lakukan terasa segar, penuh warna, sekaligus mencerminkan karakter generasi yang tumbuh di era serba cepat dan terhubung. Salah satu ciri utama penyebaran yang terlihat adalah bagaimana media sosial menjadi senjata paling ampuh. Instagram, TikTok, hingga X (Twitter) dipenuhi berbagai poster digital, infografis, dan video singkat buatan anak muda yang membungkus isu serius dengan bahasa visual yang menarik.
Kreativitas juga menjadi penanda khas. Poster dan spanduk yang mereka bawa sering kali tidak hanya berupa tulisan serius, melainkan dihiasi meme, ilustrasi, atau kalimat singkat yang cerdas dan menggelitik. Ada yang menggunakan humor seperti satir untuk mengkritik, ada pula yang menyampaikan pesan dengan gaya estetik khas anak muda. Hal ini membuat pesan politik yang biasanya kaku menjadi lebih akrab dan mudah diterima berbagai lapisan masyarakat.
Dengan kombinasi tersebut, demonstrasi di bulan Agustus kemarin menghadirkan wajah baru dalam perlawanan. Gen Z berhasil menunjukkan bahwa perjuangan hari ini tidak lagi hanya tentang teriakan lantang di jalan, tetapi juga tentang bagaimana kreativitas, solidaritas, dan teknologi bisa digabungkan menjadi kekuatan besar. Aksi mereka membuktikan bahwa demokrasi kini punya ruang tambahan: ruang digital, tempat ide-ide tumbuh, solidaritas meluas, dan suara-suara kecil bisa menjadi gema yang tak terabaikan.
Dari Jalanan Jakarta ke Kathmandu
Fenomena keterlibatan Gen Z dalam demonstrasi tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara lain, termasuk Nepal. Di sana, aksi jalanan dipicu oleh kebijakan pembatasan platform digital yang dianggap mengancam ruang berekspresi. Ribuan anak muda turun ke jalan, memaksa pemerintah meninjau ulang kebijakan sensor. Tekanan publik yang masif bahkan berujung pada reshuffle kabinet, menandakan bahwa suara generasi muda tidak lagi bisa diabaikan.
Sementara itu di Indonesia, pola yang muncul serupa, meski dampaknya berbeda. Demonstrasi Gen Z tidak langsung meruntuhkan kekuasaan, tetapi berhasil menciptakan tekanan moral yang signifikan terhadap partai politik dan pemerintah.
Tuntutan mereka terhadap politik dinasti, praktik korupsi, serta ketimpangan ekonomi mendorong isu-isu tersebut masuk ke ruang publik secara lebih serius. Media arus utama, akademisi, hingga masyarakat luas mulai menaruh perhatian pada peran mahasiswa dan pelajar sebagai motor perubahan. Hasilnya, lahir ruang diskusi yang lebih terbuka mengenai transparansi, kebebasan sipil, dan keadilan antar-generasi.
Jika dilihat lagi, pengalaman Nepal dan Indonesia menunjukkan pola yang sama: demonstrasi Gen Z lahir dari ruang digital dan berkembang menjadi gerakan kolektif di jalanan. Hasilnya juga cenderung serupa, meski berbeda bentuk—di Nepal menghasilkan perubahan struktural cepat, sementara di Indonesia mendorong pergeseran wacana politik yang berpotensi mengubah praktik dari dalam.
Keduanya menegaskan bahwa generasi muda tidak hanya aktif membuat tagar populer di media sosial, tetapi juga mampu menempatkan isu-isu penting di pusat perdebatan nasional. Dengan cara ini, Gen Z menunjukkan bahwa partisipasi politik mereka bukan sekadar aktivitas simbolik, melainkan strategi untuk menuntut akuntabilitas dan perubahan nyata.
Ahmad Fadlan Azizi, Amar Amir, Farraz Fahrezi, Wildan Alwi Hafiz dan Inayah Safitri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.