Pilihan-Rakyat.com, Jakarta — Dalam forum yang dihadiri oleh berbagai akademisi, aktivis, dan perwakilan pemerintah, isu lingkungan kembali menjadi sorotan utama. Salah satu pembicara, Aulia Furqon selaku Aktivis Lingkungan menyampaikan pandangan kritis dan reflektif mengenai kondisi lingkungan Indonesia yang kian memburuk. Ia menegaskan bahwa apa yang sedang dirasakan masyarakat saat ini mulai dari cuaca ekstrem, ketidakpastian iklim, hingga meningkatnya intensitas bencana merupakan bukti nyata bahwa kebijakan lingkungan masih jauh dari kata terpadu dan berkelanjutan.
Dalam forum yang juga dihadiri oleh Deputi bidang tata lingkungan dan sumber daya alam berkelanjutan Bapak Ir. Sigit Reliantoro M.Sc, Aulia membuka paparannya dengan menggambarkan kenyataan sehari-hari yang kini tak asing bagi warga Indonesia: panas yang menyengat, hujan yang tak menentu, dan banjir yang kian sering melanda berbagai daerah. Ia menilai bahwa problem lingkungan bukan semata persoalan alam, tetapi lebih kepada bagaimana kebijakan publik dijalankan tanpa koordinasi yang menyeluruh.
“Kalau kita melihat dari sisi kebijakan, hari ini tidak ada totalitas yang benar-benar bertanggung jawab atas anggaran lingkungan di daerah. Lembaga satu dengan yang lain saling lepas tangan. Ada BWS (Balai Wilayah Sungai), ada pihak perairan, ada sumber daya air, tapi semua berjalan sendiri-sendiri,” ujar Aulia.
Aulia menyoroti bahwa ketiadaan sinergi antar instansi menyebabkan berbagai program penanganan bencana dan pengelolaan lingkungan berjalan tumpang tindih. Ia juga menyinggung soal komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional seperti COP26, di mana pemerintah berjanji menurunkan emisi dan menjaga tutupan hutan minimal 30%. Namun realitanya, kata Aulia, di wilayah sekitar Jabodetabek, angka tersebut bahkan tidak mencapai separuhnya.
“Di Bogor, tutupan lahannya tidak sampai 15%. Di Bekasi, hanya sekitar 3,35%. Ini data yang seharusnya membuat kita cemas. Artinya, janji 30% itu masih jauh dari implementasi nyata,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dampak sosial dan kesehatan dari persoalan lingkungan yang belum tertangani serius. Fenomena banjir yang makin sering terjadi, menurutnya, tidak hanya merusak infrastruktur, tapi juga memicu masalah kesehatan masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana mahasiswa dan warga di sekitar kampus mengalami penyakit kulit dan gangguan pernapasan akibat banjir dan kualitas air yang memburuk.
“Banjir bukan sekadar air yang menggenang. Ia membawa penyakit, menutup akses pendidikan, bahkan memutus hubungan sosial antarwarga. Ini bukan hanya masalah ekologi, tapi juga masalah kemanusiaan,” ucapnya penuh keprihatinan.
Dalam kesempatan yang sama, Aulia memberikan apresiasi terhadap berbagai inisiatif yang dilakukan oleh Forum Policy Brief Mahasiswa (HMP FKM UI 2024) yang berupaya mengusulkan rancangan kebijakan multisektor untuk mengatasi krisis iklim. Namun, ia menegaskan bahwa inisiatif masyarakat sipil tidak akan cukup tanpa keberpihakan nyata dari pemerintah.
“Kita butuh konsolidasi lintas sektor, bukan hanya seremonial. Harus ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab ketika rencana kebijakan gagal berjalan. Pemerintah tidak boleh abai, apalagi di tengah data BPBD yang menunjukkan bahwa 74% bencana di Indonesia sepanjang tahun 2025 ini adalah banjir,” lanjutnya.
Ia menutup paparannya dengan ajakan kolaboratif kepada pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk menata ulang arah kebijakan lingkungan secara lebih konkret dan terintegrasi. “Kita tidak bisa terus melawan alam dengan proyek jangka pendek. Yang harus kita lawan adalah ketidakpedulian dan kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan,” pungkasnya.
Pernyataan Aulia disambut dengan perhatian serius dari para peserta, termasuk Deputi bidang tata lingkungan dan sumber daya alam berkelanjutan Bapak Ir. Sigit Reliantoro M.Sc, yang diharapkan dapat menindaklanjuti masukan tersebut dengan kebijakan yang lebih tangguh, berkeadilan, dan berpihak pada keberlanjutan bumi Indonesia.