
Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Pemeriksaan laboratorium atas kasus keracunan massal yang menimpa penerima makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) akhirnya memberikan titik terang. Hasil uji yang dilakukan oleh Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat mengungkap adanya kontaminasi bakteri berbahaya serta temuan bahan kimia tertentu yang diduga menjadi pemicu gejala keracunan. Dari ratusan sampel makanan yang diperiksa, para petugas menemukan keberadaan bakteri Salmonella dan Bacillus cereus yang dikenal sebagai penyebab umum keracunan pangan. Selain itu, sebagian kecil sampel juga menunjukkan jejak nitrit, senyawa kimia yang bila melebihi ambang batas dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Temuan ini diperkuat dengan data lapangan yang mencatat adanya puluhan kejadian luar biasa (KLB) keracunan sepanjang periode Januari hingga September 2025 di sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama, menilai hasil laboratorium ini penting sebagai dasar evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan pangan di Indonesia. Menurutnya, kasus keracunan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi karena sumber kontaminasi makanan bisa berasal dari berbagai faktor. Ia menekankan sedikitnya lima kelompok penyebab yang perlu ditelusuri dalam setiap insiden, yakni bakteri, virus, parasit, prion, dan bahan kimia. Bakteri seperti Salmonella dan Escherichia coli dapat muncul dari bahan makanan yang tidak diolah dengan baik, sementara virus seperti Norovirus atau Hepatitis A dapat menyebar melalui air dan peralatan masak yang tidak higienis. Parasit dan prion memang jarang ditemukan, tetapi tetap menjadi bagian dari pemeriksaan menyeluruh. Sementara itu, kontaminasi kimia seperti logam berat atau sisa pestisida juga berpotensi menimbulkan gejala yang mirip dengan keracunan mikroba.
Kasus keracunan MBG yang memicu kepanikan masyarakat ini tercatat di beberapa wilayah, di antaranya Bandung Barat dan Sleman. Korban dilaporkan mengalami gejala mual, muntah, pusing, dan diare beberapa jam setelah mengonsumsi makanan yang dibagikan melalui program pemerintah tersebut. Pemerintah daerah bersama dinas kesehatan setempat segera melakukan pengambilan sampel makanan, penelusuran rantai distribusi, serta menetapkan status KLB di sejumlah titik sebelum akhirnya sebagian daerah mencabut status darurat setelah hasil uji laboratorium keluar. Kepala Labkes Jawa Barat, Ryan Bayusantika Ristandi, mengingatkan bahwa kebersihan air, peralatan masak, serta higienitas para petugas dapur atau food handler menjadi faktor krusial dalam mencegah terulangnya insiden serupa.
Dari sisi kebijakan, temuan ini mendorong pemerintah untuk memperketat pengawasan mutu bahan baku, proses penyimpanan, dan transportasi makanan, terutama pada program berskala nasional seperti MBG. Bakteri Bacillus cereus misalnya, kerap berkembang pada nasi atau makanan bertepung yang disimpan terlalu lama pada suhu ruang. Karena itu, pengaturan waktu distribusi, penggunaan wadah steril, dan penerapan standar keamanan pangan yang ketat menjadi keharusan. Prof. Tjandra juga menekankan perlunya edukasi kepada masyarakat dan pelaksana program mengenai cara pengolahan makanan yang aman, termasuk kewajiban cuci tangan, sterilisasi peralatan, serta pemeriksaan rutin di laboratorium untuk mendeteksi potensi kontaminasi.
Pengungkapan hasil laboratorium ini menjadi pelajaran penting bagi pelaksana program gizi masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan menjadikan temuan ini sebagai momentum memperbaiki sistem pengawasan, dari proses pemilihan bahan baku hingga distribusi makanan ke sekolah-sekolah dan fasilitas umum. Dengan pengawasan ketat, penerapan standar kebersihan yang disiplin, dan transparansi informasi kepada publik, insiden keracunan massal seperti yang terjadi pada program MBG diharapkan tidak akan terulang di masa mendatang, sehingga tujuan mulia penyediaan makanan bergizi gratis tetap dapat tercapai tanpa mengorbankan kesehatan masyarakat.