Pilihan-Rakyat.com, Aceh Utara – Tengku Munirwan, Kepala Desa Meunasah Rayeuk, dikenal luas sebagai sosok yang berhasil menghadirkan harapan baru bagi petani lewat inovasi benih padi unggul IF8. Namun di balik prestasi dan keberanian menggerakkan perubahan, kisahnya berakhir ironis. Sang inovator yang membantu petani keluar dari jerat kemiskinan justru harus berurusan dengan hukum hingga merasakan dinginnya jeruji besi.
Munirwan bukanlah pejabat yang sekadar mengurus administrasi desa. Ia turun langsung ke sawah, mengamati pola tanam, hingga mencari solusi atas rendahnya produktivitas petani. Dari kegelisahannya itulah lahir inisiatif memperkenalkan IF8, benih padi yang diklaim mampu menghasilkan panen berlipat, tahan hama, dan lebih adaptif terhadap kondisi iklim. Melalui lahan percontohan, ia mengajak petani melihat langsung hasil nyata dari benih tersebut.
Antusiasme warga pun tumbuh. Petani yang sebelumnya pesimis terhadap masa depan pertanian kembali optimistis setelah hasil panen mereka meningkat. Pendapatan bertambah, biaya produksi lebih terkendali, dan risiko gagal panen menurun. Desa Meunasah Rayeuk mulai dikenal sebagai contoh keberhasilan inovasi lokal di sektor pangan.
Namun perjalanan Munirwan tidak sepenuhnya mulus. Pihak berwenang menilai distribusi benih IF8 yang ia lakukan dianggap tidak sesuai aturan peredaran benih nasional. Proses hukum pun berjalan, dan sang kepala desa akhirnya mendekam di balik jeruji meski kiprahnya diakui telah memberi dampak positif bagi masyarakat. Ironi itu memicu perdebatan: apakah inovasi yang lahir dari bawah harus terhenti karena regulasi yang kaku, atau sebaliknya, regulasi semestinya beradaptasi dengan kebutuhan nyata petani?
Kasus Munirwan menjadi sorotan publik luas. Banyak kalangan menilai, apa yang dilakukannya seharusnya diapresiasi dan dibina, bukan justru dipidana. Kehadirannya di penjara seolah menunjukkan betapa sulitnya ruang bagi inovasi rakyat kecil untuk berkembang tanpa berbenturan dengan aturan formal.
Meski berada dalam bayang-bayang kasus hukum, warisan perjuangan Munirwan tetap hidup di desanya. Para petani masih melanjutkan semangat yang ia tanamkan, menjaga IF8 sebagai simbol perubahan sekaligus perlawanan terhadap kemiskinan. Bagi masyarakat Aceh Utara, sosok Munirwan tidak hanya sekadar kepala desa, melainkan pionir yang berani mengambil risiko demi masa depan pangan yang lebih baik.
Kisah ironis ini sekaligus menjadi pengingat bahwa di balik retorika pembangunan dan swasembada pangan, masih ada jurang antara kebutuhan nyata petani dan kebijakan pemerintah. Munirwan mungkin terpenjara, tetapi semangat inovasi yang ia torehkan terus bergema sebagai pelajaran penting: bahwa keberanian memajukan desa tak selayaknya dibalas dengan hukuman.