Pilihan-Rakyat.com, Halmahera Timur — Suara desakan datang dari berbagai penjuru. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menuntut pembebasan tanpa syarat terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yang dinilai menjadi korban kriminalisasi setelah menolak kehadiran tambang nikel di tanah leluhur mereka. Kasus ini dinilai mencerminkan wajah suram penegakan hukum di Indonesia, di mana warga yang berupaya melindungi lingkungan justru dijerat pasal pidana.
Vonis terhadap kesebelas warga Maba Sangaji dibacakan di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, pada 16 Oktober 2025. Mereka dijatuhi hukuman karena dianggap menghalangi kegiatan pertambangan perusahaan nikel yang memiliki izin resmi. Namun, bagi masyarakat adat, kehadiran tambang itu telah menghancurkan hutan, mencemari sungai, dan mengancam sumber penghidupan mereka. Alih-alih dilindungi, warga yang bersuara malah dijadikan terdakwa.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas berbagai lembaga lingkungan, advokat, dan organisasi hak asasi manusia menyebut putusan tersebut sebagai bentuk nyata kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Mereka menilai bahwa pasal yang digunakan, terutama Pasal 162 Undang-Undang Minerba, telah kerap dijadikan alat untuk membungkam partisipasi warga dalam menolak proyek ekstraktif yang merusak lingkungan. Bagi koalisi, pasal itu bukan lagi sekadar instrumen hukum, tetapi telah berubah menjadi ancaman terhadap demokrasi ekologis.
Peristiwa bermula pada Mei 2025, ketika warga Maba Sangaji menggelar ritual adat sebagai bentuk protes damai terhadap operasi tambang nikel di wilayah hutan mereka. Dalam tradisi lokal, ritual itu adalah cara masyarakat menegaskan batas wilayah adat dan menjaga keseimbangan alam. Namun, aksi tersebut justru dibalas dengan penangkapan oleh aparat kepolisian. Beberapa warga dibawa secara paksa dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka, dengan tuduhan menghalangi kegiatan tambang.
Dalam proses hukum, berbagai lembaga advokasi mencatat adanya pelanggaran prosedur. Sebagian warga diperiksa tanpa pendamping hukum, dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan, bahkan diintimidasi untuk mengakui kesalahan yang tidak mereka lakukan. Situasi ini menambah panjang daftar kasus kriminalisasi terhadap pembela lingkungan di Indonesia yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Koalisi Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji menilai bahwa tindakan masyarakat adat seharusnya dipahami sebagai bentuk perlindungan terhadap ruang hidup, bukan pelanggaran hukum. Mereka menegaskan bahwa protes damai adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi, termasuk hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Negara, kata mereka, seharusnya hadir untuk melindungi warganya dari ancaman kerusakan alam, bukan berpihak pada korporasi yang merusak.
Dalam pernyataannya, koalisi mendesak lima langkah utama. Pertama, pemerintah dan aparat hukum harus segera membebaskan 11 warga Maba Sangaji tanpa syarat. Kedua, menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak lingkungan. Ketiga, merehabilitasi nama baik para terdakwa dan memulihkan hak-hak mereka yang terampas akibat proses hukum yang tidak adil. Keempat, meninjau kembali Pasal 162 UU Minerba yang dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan kebebasan berekspresi. Dan kelima, memastikan perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya.
Koalisi juga mengingatkan bahwa jika negara membiarkan vonis ini tetap berlaku, maka akan tercipta preseden berbahaya: siapa pun yang membela lingkungan bisa dianggap penjahat. Hal ini, menurut mereka, bukan hanya ancaman bagi masyarakat adat di Halmahera Timur, tetapi juga bagi gerakan lingkungan di seluruh Indonesia. Mereka menyerukan agar pemerintah pusat turun tangan, memastikan adanya mekanisme perlindungan hukum bagi pembela lingkungan, serta membuka kembali ruang dialog yang adil antara masyarakat, perusahaan, dan negara.
Gelombang dukungan terhadap warga Maba Sangaji terus bergulir. Di berbagai kota, aktivis, mahasiswa, dan kelompok gereja menggelar aksi solidaritas. Tagar #BebaskanMabaSangaji ramai digunakan di media sosial sebagai bentuk simpati dan perlawanan moral. Bagi banyak orang, kasus ini menjadi simbol perjuangan rakyat kecil yang melawan kekuatan modal dan kekuasaan hukum yang timpang.
Tragedi hukum yang menimpa warga Maba Sangaji memperlihatkan bahwa persoalan tambang bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi soal keberlangsungan hidup dan keadilan sosial. Di tengah gempuran investasi nikel untuk industri kendaraan listrik, suara masyarakat adat seolah tak terdengar. Padahal, di balik kekayaan mineral yang digembar-gemborkan sebagai masa depan hijau, tersimpan luka ekologis yang ditanggung oleh mereka yang paling dekat dengan alam.
Koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti di ruang sidang. Mereka akan terus mengawal proses hukum, mendesak pembebasan warga, dan menuntut tanggung jawab negara atas pelanggaran yang terjadi. “Kami tidak akan diam sampai keadilan ditegakkan,” ujar salah satu perwakilan koalisi.
Kasus Maba Sangaji kini menjadi cermin bagi bangsa: apakah Indonesia akan berpihak pada rakyat yang menjaga bumi, atau pada kepentingan yang menambang habis sumber kehidupannya.