b2

Kontroversi Food Tray MBG, Muhammadiyah Desak Penghentian Pemakaian Usai Temuan Lemak Babi

By Inayah Safitri Hanifah September 29, 2025
Nahdlatul Ulama melalui salah satu lembaga naungannya yakni Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI NU), menegaskan dukungan dan kepedulian pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah digaungkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Temuan bahwa food tray atau nampan makanan yang digunakan dalam program MBG (Makan Bergizi Gratis) diduga mengandung lemak babi memicu reaksi keras dari ormas keagamaan dan masyarakat luas. Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam besar di Indonesia menuntut agar penggunaan food tray tersebut dihentikan segera jika dugaan tersebut terbukti benar. Dalam pernyataannya, Muhammadiyah mengingatkan bahwa keamanan dan kehalalan alat yang dipakai dalam penyajian makanan publik seharusnya tidak dikompromikan, apalagi dalam konteks program negara yang menyasar anak-anak dan masyarakat rentan.

Sementara itu, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) ikut angkat suara, menyebut bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan adanya kandungan minyak babi dalam food tray yang digunakan untuk MBG. Menurut RMI-NU, fakta itu menjadi bukti bahwa tray tersebut tidak memenuhi standar kehalalan dan aman yang diharapkan oleh publik Muslim. Pernyataan ini memperkuat tekanan agar pemerintah dan lembaga terkait meninjau ulang penggunaan alat yang menjadi media penyajian makanan langsung kepada penerima manfaat MBG.

Di tengah pertentangan itu, pihak pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) maupun dinas terkait menanggapi tudingan tersebut dengan bantahan. Mereka menyatakan material food tray yang digunakan tidak mengandung minyak babi, dan minyak yang digunakan selama proses pencetakan diklaim berasal dari bahan nabati. Proses produksi, kata mereka, melibatkan tahap pembersihan dan sterilisasi sebelum tray digunakan. Meskipun demikian, klaim tersebut tidak langsung meredakan kegelisahan masyarakat maupun ormas keagamaan yang tetap mendesak agar transparansi terhadap proses produksi dan uji laboratorium lebih terbuka.

Di sisi keagamaan, antara Muhammadiyah dan RMI-NU muncul perbedaan pendekatan dalam merespons isu alat makanan yang terindikasi terkontaminasi najis babi. Muhammadiyah cenderung menuntut penghentian penggunaan jika terbukti, sedangkan sebagian pihak Nahdlatul Ulama berargumen bahwa menurut kaidah fikih NU, benda keras yang terkena najis babi masih dapat disucikan melalui pencucian jika layak — sehingga penggunaan kembali dianggap sah sepanjang proses pembersihan dilakukan dengan benar. Perbedaan interpretasi ini menggambarkan kompleksitas dimensi agama dalam standar kehalalan publik.

Tudingan terhadap food tray bermasalah ini juga memicu seruan agar pemerintah memperketat regulasi pengadaan alat-alat yang dipakai dalam program-program nasional. Beberapa pihak menyarankan agar tray makanan harus memiliki sertifikasi halal, standar food grade, serta pengujian laboratorium pihak ketiga yang kredibel dan transparan. Jika perlu, produsen dalam negeri yang mampu memproduksi tray halal dan aman didorong agar dapat membebaskan ketergantungan pada impor yang selama ini menjadi sorotan.

Kasus ini membuka persoalan mendasar mengenai kepercayaan publik terhadap keamanan dan kehalalan program pemerintah. Program MBG sejatinya dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan gizi bagi masyarakat, tetapi dugaan kontaminasi alat makanan menyita perhatian utama terhadap aspek kehalalan dan keselamatan. Jika tidak ditangani dengan transparan dan bertanggung jawab, insiden ini berpotensi melemahkan dukungan masyarakat terhadap program serupa di masa depan.

Pemerintah dan lembaga terkait kini menghadapi tugas berat: membuktikan klaim atau bantahan secara ilmiah, memastikan bahwa tray yang digunakan benar-benar bebas dari bahan yang haram atau membahayakan kesehatan, serta meyakinkan publik bahwa aspek kehalalan dan keamanan makanan menjadi prioritas utama dalam setiap langkah penyelenggaraan MBG.

Berita Terkait