Jakarta, Pilihan-Rakyat.com – Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: bencana masih menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Data terbaru Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI mencatat lebih dari 2.000 kejadian bencana terjadi di seluruh Indonesia sejak 1 Januari hingga 5 September 2025, dengan banjir menjadi momok utama yang merendam ratusan wilayah.
Provinsi dengan kejadian bencana tertinggi ditempati oleh Jawa Timur dengan 214 kasus, disusul Jawa Barat (174 kasus) dan Jawa Tengah (148 kasus). Sementara DKI Jakarta, yang sering menjadi sorotan, justru mencatat angka pengawasan tertinggi berdasarkan PPK regional/sub-regional, yakni 266 kejadian. Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan kerentanan wilayah, tetapi juga menegaskan urgensi perbaikan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan.
Banjir, Angin Puting Beliung, dan Tanah Longsor Mendominasi
Berdasarkan jenis bencana, banjir mendominasi dengan 730 kejadian, diikuti angin puting beliung (241 kejadian), tanah longsor (91 kejadian), dan gempa bumi (90 kejadian). Sementara itu, kebakaran baik permukiman maupun hutan menyumbang 80 kejadian, memperparah dampak kerusakan lingkungan.
Yang lebih mengkhawatirkan, sejumlah bencana ini kerap terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan infrastruktur rentan. Kombinasi tersebut membuat risiko kesehatan masyarakat meningkat, mulai dari penyebaran penyakit pascabanjir, gangguan psikologis akibat kehilangan tempat tinggal, hingga kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan.
Saatnya Berhenti Mengandalkan Keberuntungan
Data yang dirilis ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah, pemangku kebijakan, dan masyarakat. Bencana bukan sekadar fenomena alam semata, tetapi juga hasil dari minimnya kesiapan struktural dan perilaku manusia yang mengabaikan keseimbangan lingkungan. Urbanisasi yang tak terkendali, penebangan hutan, hingga pembangunan yang mengorbankan daerah resapan air menjadi bom waktu yang kini meledak satu per satu.
Pusat Krisis Kesehatan menegaskan pentingnya pendekatan pencegahan berbasis masyarakat dan penguatan layanan kesehatan darurat. Setiap kejadian bencana bukan hanya urusan evakuasi dan bantuan logistik, tetapi juga pemulihan kesehatan fisik dan mental korban. Dari data tersebut, terlihat pula masih minimnya pelaporan terkait wabah penyakit, gagal teknologi, maupun kecelakaan industri, yang seharusnya menjadi perhatian lintas sektor.
Edukasi dan Perubahan Gaya Hidup: Pilar Ketahanan Bencana
Indonesia tak bisa terus mengulang pola yang sama: bencana datang, panik, bantuan datang terlambat, lalu lupa. Edukasi mitigasi sejak dini, pengelolaan risiko berbasis data, dan kolaborasi masyarakat-pemerintah harus menjadi prioritas. Warga di wilayah rawan banjir perlu diarahkan untuk memiliki rencana evakuasi keluarga, sekolah-sekolah di daerah rawan longsor wajib memiliki jalur penyelamatan, dan fasilitas kesehatan harus dibekali dengan sistem respons cepat bencana.
Dalam konteks ini, peran Pusat Krisis Kesehatan bukan hanya melaporkan angka, tetapi menjadi penggerak kesadaran kolektif bahwa keselamatan adalah hasil dari kerja bersama, bukan sekadar doa atau bantuan instan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; setiap satu kasus berarti ada nyawa, harapan, dan masa depan yang dipertaruhkan.