b2

Massa di Monas Desak Prioritas MBG untuk Daerah 3T, Sementara Pendidikan Anak Terpinggirkan oleh Proyek Rentan

By Inayah Safitri Hanifah October 1, 2025
Massa aksi Ibu-Ibu di Monas, kritik Program MBG (Sumber foto : Pilihan-Rakyat.com//Inayahshanifah)

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta — Pada 1 Oktober 2025, ribuan massa berkumpul di Monumen Nasional (Monas), menuntut agar program *MBG* (Membangun, Berdaya, Generatif) difokuskan pada daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Aksi ini mencerminkan kekhawatiran publik akan ketimpangan pembangunan dan prioritas alokasi anggaran nasional.

Namun, di balik tuntutan tersebut muncul pertanyaan mendalam: mengapa di tengah kondisi pendidikan yang rapuh—di mana sekitar 40 persen sekolah dan madrasah berada dalam keadaan kritis program seperti MPP / MBG justru disodorkan sebagai solusi prioritas? Bukankah yang lebih mendesak adalah menjamin sekolah aman, layak, dan berkualitas bagi anak-anak Indonesia?

Skema yang dijalankan selama ini cenderung “top-down”, dengan sedikit ruang partisipasi masyarakat, sekolah, dan orang tua dalam perumusan dan pelaksanaan. Hal ini menarik kritik tajam terkait transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas. Tidak heran jika dalam beberapa periode kasus keracunan pangan massal muncul lebih dari 8.000 laporan tercatat antara Juli hingga September menjadi bukti nyata kegagalan sistem pengawasan dan pelaksanaan yang seharusnya melindungi anak-anak.

Lebih ironis lagi, sebagian sekolah masih berjuang dengan dana operasional minim. Ada laporan bahwa sekolah swasta hanya menerima Rp 600 per siswa per bulan jumlah yang jauh dari memadai untuk menjaga kelancaran pendidikan. Bersamaan dengan itu, proyek-proyek seperti MBG yang dinilai tidak memprioritaskan partisipasi masyarakat malah mendapatkan sorotan publik sebagai alokasi anggaran yang bermasalah.

Aksi di Monas menunjukkan bahwa rakyat tidak tinggal diam. Mereka mendesak agar MBG benar-benar diarahkan untuk daerah 3T yang paling membutuhkan sentuhan infrastruktur dan pendidikan. Namun tuntutan itu harus diiringi dengan tuntutan agar anggaran pendidikan jangan dialihkan ke proyek-proyek yang tidak memiliki tata kelola baik. Uang pajak rakyat harus kembali untuk memperkuat ekosistem pendidikan: membangun sekolah yang layak, memastikan tenaga pengajar berkualitas, dan memberi akses pendidikan aman serta bermutu untuk seluruh anak negeri.

Kini saatnya publik, akademisi, dan pemangku kepentingan bersuara lebih lantang: hentikan program yang menimbulkan kontroversi dan risiko, dan arahkan energi serta uang negara ke pemulihan pendidikan dasar yang telah terkikis. Pendidikan itu bukan sekadar proyek ia adalah fondasi masa depan bangsa.

Berita Terkait