b2

Menko Yusril Menolak Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Pilih Penegakan Hukum Langsung atas Kerusuhan Agustus

By Inayah Safitri Hanifah September 14, 2025
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan wakilnya Otto Hasibuan saat ditemui di Polda Metro Jaya. 9 September 2025. Sumber foto : TEMPO/Oyuk I Siagian
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan wakilnya Otto Hasibuan saat ditemui di Polda Metro Jaya. 9 September 2025. TEMPO/Oyuk I Siagian

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Polemik seputar penanganan kerusuhan dalam demonstrasi akhir Agustus kembali menjadi sorotan. Usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sempat mengemuka dari sejumlah pihak, namun Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa proses hukum tidak boleh terhambat hanya karena menunggu terbentuknya tim tersebut.

Menurut Yusril, kerusuhan yang terjadi bukan sekadar unjuk rasa yang berujung ricuh, melainkan sudah mengandung unsur tindak pidana. Aksi perusakan, pembakaran, hingga penganiayaan yang menyertai demonstrasi harus segera diproses melalui jalur hukum yang berlaku. “Negara tidak boleh diam. Aparat penegak hukum sudah memiliki dasar dan kewenangan untuk bertindak, tanpa harus menunggu rekomendasi tim independen,” tegasnya.

Ia menambahkan, pembentukan TGPF merupakan gagasan yang sah untuk diajukan, namun prosesnya tidak sederhana. Penyusunan mandat, pemilihan anggota, hingga mekanisme kerja membutuhkan waktu panjang. Jika seluruh proses penegakan hukum harus bergantung pada pembentukan tim tersebut, maka keadilan akan tertunda dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah lamban merespons.

Meski demikian, Yusril tidak menutup pintu terhadap keberadaan TGPF. Menurutnya, jika Presiden memutuskan untuk membentuk tim investigasi independen, hasil kerjanya bisa melengkapi proses hukum yang sedang berjalan. Tim tersebut dapat menyingkap dimensi lain di balik kerusuhan, seperti kemungkinan adanya aktor intelektual, jaringan pendanaan, ataupun skenario yang disusun secara sistematis.

“Presiden berwenang menentukan apakah TGPF diperlukan atau tidak. Namun, proses hukum yang sedang berjalan tetap harus dilanjutkan,” ujar Yusril. Pernyataannya memperjelas posisi pemerintah yang berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan akan transparansi publik dan kewajiban menegakkan hukum secara cepat.

Bagi Yusril, inti persoalan terletak pada komitmen negara menjaga ketertiban dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat tetap terlindungi. Demonstrasi adalah hak konstitusional, namun jika berubah menjadi tindakan kriminal, maka negara wajib bertindak. Penegakan hukum yang segera dijalankan diyakini mampu mengembalikan rasa keadilan dan mencegah eskalasi konflik sosial yang lebih luas.

Dengan sikap ini, pemerintah ingin menegaskan bahwa tuntutan publik terhadap transparansi tetap diakomodasi, namun tanpa mengorbankan urgensi penegakan hukum. Pembentukan TGPF bisa saja menjadi instrumen tambahan, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk menunda langkah hukum terhadap pelaku yang sudah nyata-nyata melakukan pelanggaran.

Berita Terkait