b2

Penangkapan Paul, Aktivis Muda Yogyakarta: Antara Hukum dan Upaya Membungkam Suara Kritis

By Inayah Safitri Hanifah October 17, 2025
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengungkap kronologi penangkapan aktivis sosial asal Yogyakarta, Muhammad Fatkhurrozi atau Paul oleh Polda Jatim, Minggu (28/9/2025)(Dok. LBH Surabaya)

Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Penangkapan terhadap seorang aktivis muda bernama Paul, di Yogyakarta, kembali membuka luka lama tentang bagaimana negara memperlakukan warganya yang bersuara kritis. Paul dikenal sebagai aktivis sosial yang kerap turun ke jalan, menyuarakan isu keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Ia aktif dalam gerakan mahasiswa, diskusi sosial, hingga kegiatan solidaritas di ruang-ruang publik Yogyakarta. Namun pada akhir September lalu, namanya mendadak menjadi sorotan setelah aparat kepolisian mendatangi kediamannya dan membawanya tanpa penjelasan yang jelas di hadapan publik.

Menurut keterangan beberapa rekan sesama aktivis, penangkapan dilakukan tanpa surat resmi yang ditunjukkan di tempat kejadian. Sejumlah barang milik Paul seperti laptop, ponsel, dan beberapa buku ikut disita. Situasi itu menimbulkan tanda tanya besar: apakah penegakan hukum benar dijalankan dengan asas keadilan, atau justru menjadi alat untuk menekan perbedaan pandangan? Bagi banyak kalangan, kejadian ini terasa seperti deja vu atas pola lama kriminalisasi terhadap aktivis yang vokal menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Paul bukan sosok baru di dunia pergerakan. Di Yogyakarta, ia dikenal aktif mendampingi berbagai aksi solidaritas, termasuk kegiatan Aksi Kamisan, forum reflektif yang selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap impunitas dan ketidakadilan hukum. Ia juga terlibat dalam sejumlah kajian sosial di Social Movement Institute (SMI) yang menyoroti kesenjangan sosial dan persoalan hak asasi manusia. Keberpihakannya pada kelompok rentan membuatnya disegani sekaligus sering dianggap “terlalu berani” oleh pihak-pihak yang tak nyaman dengan kritik terbuka.

Kabar penangkapannya sontak memicu gelombang solidaritas dari berbagai jaringan masyarakat sipil. LBH Yogyakarta dan LBH Surabaya segera memberikan pendampingan hukum, menegaskan bahwa tindakan aparat harus dilakukan secara transparan dan sesuai prosedur. Mereka menyoroti dugaan pelanggaran prosedural dalam proses penangkapan, mulai dari ketiadaan surat resmi hingga cara penyitaan barang-barang pribadi yang tidak proporsional. Isu ini pun berkembang menjadi perdebatan publik yang lebih luas tentang ruang kebebasan sipil di Indonesia, terutama di masa ketika suara kritis semakin dipersempit oleh regulasi dan tindakan represif.

Di sisi lain, aparat kepolisian berdalih bahwa penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan terkait peristiwa aksi massa yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun tanpa penjelasan rinci, alasan itu justru semakin menimbulkan kecurigaan. Jika benar ada dugaan pelanggaran, bukankah proses hukum semestinya dijalankan secara terbuka agar publik dapat menilai objektivitasnya? Transparansi menjadi kunci agar penegakan hukum tidak berubah menjadi instrumen politik atau alat intimidasi terhadap warga yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyuarakan pendapat.

Kebebasan berekspresi dan hak menyampaikan pendapat dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E, serta oleh berbagai instrumen hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Penangkapan terhadap seorang aktivis tanpa dasar yang kuat bukan hanya melanggar hak individu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum itu sendiri. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan penekan. Dalam konteks ini, publik menuntut agar aparat membuka dasar hukum penangkapan, memulihkan hak-hak Paul sebagai warga negara, dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivisme damai.

Lebih jauh, kasus Paul memperlihatkan bagaimana demokrasi Indonesia tengah diuji. Ruang publik yang dulu hidup dengan diskusi dan kritik, kini terasa menyempit di bawah bayang-bayang ketakutan. Aktivisme yang semestinya menjadi nafas demokrasi justru dihadapkan pada ancaman pasal-pasal karet dan tindakan sewenang-wenang. Banyak kalangan menilai, jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka yang akan hilang bukan hanya kebebasan individu, tetapi juga jiwa bangsa yang berani berpikir dan bersuara.

Solidaritas untuk Paul kini meluas, dari kalangan mahasiswa hingga pegiat HAM. Mereka menuntut agar penegakan hukum berjalan transparan dan adil, serta mendesak agar ruang demokrasi di Yogyakarta tidak dicederai oleh tindakan represif. Sebab ketika negara mulai menakuti rakyatnya yang berpikir kritis, saat itulah demokrasi kehilangan maknanya.

Kasus Paul bukan sekadar soal satu orang aktivis yang ditangkap, melainkan tentang arah bangsa: apakah kita masih percaya pada keadilan dan kebebasan yang dijamin konstitusi, atau kita membiarkan ketakutan menjadi norma baru dalam kehidupan berdemokrasi.

Berita Terkait