Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Kasus korupsi izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur kembali menjadi sorotan tajam publik setelah pengusaha tambang Rudy Ong Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun alih-alih bersikap defensif secara hukum, Rudy justru melontarkan pengakuan yang mengejutkan: ia mengaku dijebak dan diperas oleh anak buahnya sendiri dalam urusan suap pengurusan izin tambang.
Dalam pernyataannya, Rudy menuding seorang pegawainya bernama Sugeng sebagai dalang yang memeras dirinya dengan mengatasnamakan KPK. Ia bahkan mengklaim Sugeng meminta uang hingga Rp10 miliar, sebagian di antaranya untuk membeli narkoba.
“Pegawai saya memeras saya atas nama KPK. Saya lapor ke KPK, malah saya yang dijadikan tersangka,”
ujarnya dengan suara keras saat digiring penyidik KPK. Klaim tersebut langsung mengguncang opini publik, sebab Rudy kini berusaha menggeser narasi dari pelaku korupsi menjadi korban jebakan internal.
Kasus ini bermula pada 2014 ketika Rudy memberi kuasa kepada Sugeng untuk mengurus perpanjangan enam IUP milik perusahaannya di Kalimantan Timur. Dalam prosesnya, Sugeng melibatkan Iwan Chandra sebagai rekan pengurus. Berdasarkan hasil penyidikan KPK, Rudy menyerahkan uang Rp 3 miliar kepada sejumlah pejabat, termasuk Kepala Dinas ESDM Kaltim Amrullah, untuk mempercepat pengurusan izin. Tak berhenti di situ, ia juga memberikan uang dalam bentuk dolar Singapura senilai Rp3,5 miliar kepada pihak lain yang disebut dekat dengan keluarga pejabat daerah saat itu.
KPK menjerat Rudy dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, serta Pasal 13 Undang-Undang Tipikor tentang pemberian suap kepada penyelenggara negara. Ia juga sempat dijemput paksa karena dua kali mangkir dari panggilan penyidik. Meski demikian, tudingan bahwa dirinya adalah korban pemerasan memunculkan babak baru dalam kasus ini: antara dugaan suap, intrik internal, dan klaim jebakan yang menimbulkan kebingungan publik.
Pernyataan Rudy memperlihatkan sisi lain dari kerusakan sistem perizinan tambang di Indonesia. Proses yang semestinya transparan justru dipenuhi calo dan makelar yang memperjualbelikan akses. Ketika izin bisa diperdagangkan, batas antara pemberi suap dan korban pemerasan menjadi kabur. Jika benar ada pegawai yang memeras bosnya dengan mengatasnamakan KPK, maka kasus ini bukan hanya soal korupsi, melainkan juga soal ambruknya etika bisnis dan lemahnya pengawasan internal.
Klaim bahwa ia dijebak juga menunjukkan pola klasik dalam kasus korupsi: ketika tersangka mencoba menggiring opini publik dengan memainkan posisi sebagai korban. Namun KPK menegaskan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan bukti kuat, bukan sekadar pengakuan atau narasi pribadi. Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan pihaknya akan tetap menelusuri setiap pernyataan yang muncul dari tersangka, termasuk tudingan pemerasan, sejauh didukung bukti konkret.
Kasus ini menjadi cermin buram tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Ketika proses izin tambang diwarnai praktik suap dan saling sandera, publik kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa korupsi di sektor tambang sudah menjadi ekosistem gelap yang menjerat banyak pihak. Dari pejabat daerah, pengusaha, hingga makelar, semuanya terlibat dalam lingkaran yang sulit diputus.
Rudy Ong boleh saja mengaku dijebak, tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari permainan ini? Apakah benar sang pengusaha korban dari sistem yang korup, atau justru bagian dari mesin korupsi yang ia bantu rawat selama bertahun-tahun?
Publik berhak tahu kebenaran di balik “jebakan anak buah” ini karena pada akhirnya, kasus seperti ini bukan sekadar drama individu, tetapi potret rusaknya tata kelola tambang yang selama ini menelan integritas, keadilan, dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.


