Pilihan-Rakyat.com, Jakarta – Penyerahan uang pengganti senilai Rp13,255 triliun dari Kejaksaan Agung kepada Kementerian Keuangan menjadi peristiwa besar yang disorot publik. Disaksikan langsung oleh Presiden di Gedung Utama Kejaksaan Agung, momentum itu diklaim sebagai bukti keberhasilan negara menegakkan hukum dan memulihkan kerugian dari kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Namun, di balik tepuk tangan dan sorotan kamera, publik masih menyisakan tanya: apakah ini benar pemulihan, atau sekadar panggung simbolik yang menutupi luka lama penegakan hukum?
Angka Besar, Tapi Belum Sepenuhnya Tuntas
Nominal Rp13 triliun tentu mengguncang. Ia setara dengan dana pembangunan ribuan sekolah atau perbaikan ratusan rumah sakit daerah. Tapi angka besar itu juga membuka luka besar: mengapa korupsi sebesar itu bisa terjadi di sektor strategis yang menghidupi jutaan petani? Dan lebih jauh, apakah seluruh kerugian negara sudah dikembalikan?
Informasi yang beredar menyebut masih ada selisih miliaran hingga triliunan rupiah yang belum terselesaikan. Jika benar demikian, maka penyerahan ini baru sebagian, bukan final. Kejaksaan menyatakan akan menagih sisanya melalui mekanisme bertahap. Namun publik berhak khawatir: pengalaman selama ini menunjukkan, ketika kasus besar sudah menurun gaungnya, sisa tanggung jawab sering lenyap di tengah kabut administrasi dan kompromi kekuasaan.
Seremoni di Panggung Hukum
Kehadiran Presiden dalam acara penyerahan itu menandai bahwa hukum kini tidak hanya ditegakkan tapi juga ditampilkan. Seremoni menjadi bagian dari narasi politik: bahwa negara hadir dan kuat menghadapi korupsi. Namun kekuatan sejati penegakan hukum tidak diukur dari megahnya panggung, melainkan dari kepastian dan transparansi proses.
Penyerahan uang di hadapan kamera bisa menjadi simbol kemajuan, tetapi juga pengingat bahwa hukum sering kali membutuhkan pencitraan untuk meyakinkan publik. Padahal, yang dibutuhkan bukan panggung, melainkan mekanisme yang transparan publikasi detail tentang siapa yang membayar, berapa yang dikembalikan, dan bagaimana dana itu benar-benar masuk ke kas negara dan dimanfaatkan untuk rakyat.
Uang Kembali, Tapi Sistem Masih Bocor
Kasus korupsi CPO bukan sekadar kisah tentang penyimpangan uang negara, melainkan cermin dari rapuhnya tata kelola sumber daya alam. Di balik ekspor sawit yang menguntungkan segelintir pihak, terdapat rantai kebijakan yang membuka ruang penyalahgunaan izin, manipulasi kuota, hingga permainan harga.
Selama sistem perizinan dan pengawasan tidak dibenahi, uang hasil korupsi yang dikembalikan hari ini hanyalah “pengganti sementara” dari kebocoran yang bisa berulang. Korupsi di sektor strategis seperti sawit, nikel, dan tambang seringkali berjalan paralel menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan sekadar individu yang serakah, tapi sistem yang permisif terhadap kolusi.
Janji Pemulihan Harus Disertai Tanggung Jawab
Presiden dalam sambutannya menyinggung bahwa dana sebesar itu bisa membangun ribuan sekolah atau membantu rakyat kecil. Sebuah pernyataan yang mengandung kebenaran, tapi juga ironi: mengapa uang sebesar itu sempat hilang lebih dulu sebelum kembali kepada negara?
Pertanyaan publik bukan lagi tentang seberapa besar uang yang diserahkan, tetapi seberapa serius pemerintah memastikan uang itu benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Tanpa mekanisme pelacakan dan pelaporan yang terbuka, pengembalian ini berpotensi menjadi catatan manis tanpa makna konkret di lapangan.
Penegakan Hukum Harus Melampaui Seremoni
Kejaksaan Agung patut diapresiasi karena mampu menagih kembali dana dalam jumlah besar dari korporasi pelaku korupsi. Namun ujian sesungguhnya adalah konsistensi. Mampukah lembaga hukum menuntaskan sisa kerugian, menahan tekanan politik, dan mendorong reformasi sektor sawit agar kasus serupa tidak berulang?
Di titik inilah publik harus tetap kritis. Uang memang telah kembali, tetapi kepercayaan belum. Sebab, selama hukum masih dipertontonkan lebih sering daripada dijalankan secara setara, masyarakat akan selalu melihat setiap seremoni sebagai panggung bukan sebagai keadilan.