Pilihan-Rakyat.com, New York – 21 poin yang diumumkan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu perbincangan luas di berbagai belahan dunia. Dalam konteks konflik panjang Palestina–Israel yang telah berlangsung puluhan tahun, gagasan ini hadir sebagai upaya menutup babak kekerasan yang terus berulang, khususnya di Jalur Gaza. Trump menawarkan peta jalan yang berani karena menekankan gencatan senjata, pemulihan kemanusiaan, dan jalur menuju pembentukan negara Palestina. Meskipun belum ada rincian teknis yang benar-benar disepakati oleh pihak-pihak terkait, kerangka besar ini disebut menyasar tiga isu paling krusial: keamanan, rekonstruksi, dan pengakuan politik.
Dalam garis besarnya, proposal tersebut memprioritaskan penghentian kekerasan, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, dan pembentukan pemerintahan sementara di Gaza. Trump menyerukan agar operasi militer di Gaza dihentikan dengan syarat adanya kesepakatan semua pihak, serta dimulainya proses pertukaran sandera dan pembebasan tahanan sebagai langkah membangun kepercayaan. Ia juga mendorong terbentuknya pemerintahan transisi yang bersifat teknokratik untuk mengelola layanan dasar dan mempersiapkan proses transisi menuju pemerintahan Palestina yang lebih permanen. Pemerintahan sementara ini direncanakan berada di bawah pengawasan lembaga internasional agar pelaksanaannya transparan dan tidak berpihak.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, berikut 21 poin yang disusun Trump dalam proposal tersebut:
Gaza dijadikan wilayah deradikalisasi, bebas terorisme, dan tidak menjadi ancaman bagi negara tetangga.
-
Pembangunan kembali Gaza difokuskan bagi kesejahteraan rakyatnya.
-
Jika Israel dan Hamas menyetujui proposal, konflik segera dihentikan dan pasukan Israel menarik diri secara bertahap.
-
Israel diminta menyetujui dalam 48 jam agar seluruh sandera—baik yang hidup maupun jenazah—dapat dipulangkan.
-
Setelah pemulangan sandera, Israel akan membebaskan ratusan tahanan Palestina dan menyerahkan jenazah ratusan warga Gaza yang tewas.
-
Anggota Hamas yang mau hidup damai diberi amnesti, sedangkan yang ingin keluar Gaza disediakan jalur aman ke negara penerima.
-
Bantuan kemanusiaan ke Gaza akan meningkat secara besar-besaran begitu kesepakatan tercapai.
-
Distribusi bantuan dilakukan oleh PBB, Bulan Sabit Merah, dan organisasi internasional netral tanpa gangguan pihak manapun.
-
Gaza akan dikelola sementara oleh pemerintahan transisi teknokrat Palestina dengan pengawasan badan internasional baru.
-
Rencana ekonomi disusun untuk membangun kembali Gaza dengan melibatkan ahli pembangunan kota modern.
-
Zona ekonomi khusus dibentuk untuk menarik investasi dan membuka lapangan kerja.
-
Tidak ada penduduk Gaza yang dipaksa meninggalkan wilayahnya; yang pergi tetap memiliki hak untuk kembali.
-
Hamas tidak diberi peran dalam pemerintahan Gaza; infrastruktur militer ofensif akan dibongkar.
-
Negara-negara regional memberikan jaminan keamanan agar Hamas dan faksi lain mematuhi kewajiban.
-
AS bersama mitra Arab dan internasional membentuk pasukan stabilisasi sementara untuk menjaga keamanan dan melatih pasukan lokal Palestina.
-
Israel tidak akan mencaplok atau menduduki Gaza lebih lanjut; penarikan dilakukan seiring pasukan pengganti mengambil alih keamanan.
-
Jika Hamas menolak, poin-poin di wilayah bebas teror tetap dijalankan dengan kontrol pasukan internasional.
-
Israel sepakat tidak menyerang Qatar dan mengakui peran Doha sebagai mediator.
-
Program deradikalisasi penduduk dan dialog antaragama dibentuk untuk mengubah narasi kebencian.
-
Setelah rekonstruksi Gaza dan reformasi Otoritas Palestina berjalan, dibuka jalur kredibel menuju pembentukan negara Palestina.
-
AS memfasilitasi dialog Israel–Palestina untuk menetapkan horizon politik demi koeksistensi damai.
Meski rencana ini terlihat progresif, tantangan besar tetap menghadang. Penarikan pasukan Israel dan kehadiran pasukan internasional memerlukan koordinasi yang rumit serta jaminan keamanan yang tidak mudah dipenuhi. Pembentukan pemerintahan teknokrat yang dipercaya rakyat Gaza sekaligus diterima komunitas internasional akan menghadapi tarik-menarik kepentingan berbagai kelompok politik, termasuk faksi internal Palestina sendiri. Status Hamas sebagai kekuatan politik dan militer juga menjadi batu sandungan, karena penghapusan total pengaruhnya nyaris mustahil tanpa risiko kekacauan baru.
Selain itu, pembiayaan rekonstruksi yang diperkirakan memerlukan dana sangat besar berpotensi tersendat bila komitmen negara donor melemah. Penerimaan terhadap rencana ini pun tidak hanya harus datang dari Israel dan Palestina, tetapi juga negara-negara Arab, Amerika Serikat, dan kekuatan internasional lainnya. Tanpa dukungan luas, proposal ini dikhawatirkan hanya menjadi wacana politik yang sulit diwujudkan.
Namun demikian, sebagian pengamat melihat adanya peluang positif. Dengan mencantumkan secara eksplisit jalur menuju pembentukan negara Palestina, Trump setidaknya menghidupkan kembali wacana dua negara yang belakangan semakin terpinggirkan. Fokus pada bantuan kemanusiaan dan pembangunan ekonomi juga memberi harapan nyata bagi warga Gaza yang selama ini hidup dalam blokade dan krisis kemanusiaan. Jika dilaksanakan dengan pengawasan internasional yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat Palestina, proposal ini berpotensi membuka babak baru menuju perdamaian yang lebih adil.
Keberhasilan rencana 21 poin ini pada akhirnya sangat bergantung pada kemauan politik semua pihak yang terlibat. Upaya perdamaian di Timur Tengah selama ini kerap kandas karena ketidakpercayaan, campur tangan kepentingan luar, dan kegagalan memastikan hak-hak dasar rakyat Palestina. Tanpa jaminan netralitas, transparansi, dan keterlibatan masyarakat lokal, setiap peta jalan akan tetap rapuh. Tetapi jika momentum diplomatik yang tercipta dapat dijaga, rencana ini bisa menjadi batu loncatan penting menuju perdamaian yang selama ini hanya menjadi harapan.